Rabu, 04 Maret 2009




1. PENDAHULUAN

Fakta nyata laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 95.181 km dan pulau-pulau berjumlah 17.480, dengan potensi sumber daya, terutama sumber daya perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun diversitas. Potensi lestari sumber daya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Potensi sumber daya ikan tersebut, apabila dikelompokkan berdasarkan jenis ikan terdiri dari pelagis besar 1,16 juta ton, pelagis kecil 3,6 juta ton, demersal 1,36 juta ton, udang penaeid 0,094 juta ton, lobster 0,004 juta ton, cumi-cumi 0,028 juta ton, dan ikan karang konsumsi 0,14 juta ton. Dari seluruh potensi sumber daya ikan tersebut, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,01 juta ton per tahun atau sekitar 80 persen dari potensi lestari. Namun demikian, berdasarkan kajian tersebut, tingkat pemanfaatan sumber daya ikan umumnya sudah menunjukkan gejala lebih tangkap (overfishing) pada beberapa wilayah pengelolaan perikanan, yang ditandai dengan menurunnya trend produksi sumber daya ikan dan perubahan komposisi-nya seperti menurunnya rata-rata panjang ikan yang tertangkap disamping makin mendominasinya ikan-ikan yang dahulu umumnya dikategorikan sebagai ikan hasil tangkapan sampingan (by-catch) (Numberi, 2008).
Perubahan-perubahan tersebut juga diperkuat kenyataan-kenyataan di lapangan di mana nelayan semakin sulit mendapatkan ikan di daerah-daerah penangkapan ikan sebelumnya. Perubahan daerah penangkapan ikan ini umumnya semakin jauh dari daerah pantai ke arah perairan lepas yang hal ini mengakibatkan biaya produksi seperti bahan bakar minyak yang diperlukan jauh lebih besar sementara jumlah hari penangkapan semakin lama sehingga secara ekonomi usaha penangkapan ini menjadi tidak lagi menguntungkan.
Fenomena yang terjadi bahwa nelayan dalam mencari daerah penangkapan ikan yang lebih ekonomis telah menimbulkan konsentrasi nelayan di daerah-daerah penangkapan tersebut yang mengakibatkan efek negatif dengan terjadinya konflik antar nelayan. Bahkan nelayan terpaksa untuk memanfaatkan sumber daya ikan di daerah penangkapan yang sebelumnya dilarang seperti di kawasan konservasi laut, kawasan suaka perikanan, daerah perlindungan dan rehabilitasi mangrove. Pelanggaran juga tak jarang terjadi di jalur-jalur penangkapan ikan 1a atau dibawah 3 mil laut yang merupakan wilayah tangkapan bagi nelayan-nelayan yang menggunakan alat tangkap pasif karena daerah ini diyakini sebagai spawning and nursery grounds dari banyak jenis sumber daya ikan.
Sementara itu perkembangan lainnya dengan diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya ikan di wilayahnya. Namun kenyataan yang ada, lahirnya UU ini, telah banyak menimbulkan kesalahan penafsiran tentang ketentuan pengelolaan sumber daya ikan, di mana sebagian daerah kemudian mengklaim wilayah-wilayah tertentu dalam kewenangannya sebagai wilayah perairan yang hanya boleh dimiliki oleh daerah tersebut.
Kondisi-kondisi tersebut di atas telah banyak menimbulkan terjadinya konflik antara nelayan. Konflik nelayan yang terjadi bukan hanya melibatkan nelayan antar kecamatan dalam satu kabupaten, nelayan antar kabupaten dalam satu propinsi, ataupun konflik nelayan yang terjadi antar propinsi, tapi juga munculnya konflik nelayan yang melibatkan nelayan lokal (Indonesia) dengan nelayan asing di wilayah perairan perbatasan.
Makalah ini mencoba mengulas permasalahan konflik nelayan yang terjadi di Indonesia, akar penyebabnya, upaya-upaya meminimalisir terjadinya benturan yang lebih besar, sehingga dampak terjadinya konflik nelayan tidak merugikan berbagai pihak yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan.

2. JENIS-JENIS KONFLIK DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Beberapa faktor yang menjadi penyebab utama terjadinya konflik menurut Soekanto (1995, dalam Satria 2002) adalah perbedaan individu, perbedaan budaya, perbedaan kepentingan, dan perubahan sosial. Perbedaan individu dan budaya terjadi karena perbedaan lingkungan yang membentuk kedua belah pihak yang melahirkan prinsip, nilai-nilai, kebiasaan, atau tata cara yang berbeda.
Dalam kegiatan perikanan, khususnya penangkapan ikan, konflik merupakan gejala sosial yang sering ditemukan di berbagai wilayah perairan. Gejala konflik sosial tersebut dapat dilihat dari perspektif sumber daya bahwa konflik antar nelayan sering terjadi untuk memperebutkan sumber daya ikan yang jumlahnya terbatas. Perebutan ini muncul karena karakteristik sumber daya perikanan yang bersifat open acces.
Satria et.al. (2002) mengelompokkan konflik antar nelayan menjadi 4 (empat) macam, yaitu : (1) konflik kelas, (2) konflik orientasi, (3) konflik agraria, dan (4) konflik primordial. Konflik kelas atau disebut juga konflik vertikal, yakni konflik antara nelayan perikanan industri dengan nelayan perikanan rakyat. Hal ini biasanya dipicu oleh perbedaan upaya tangkap (effort), yang dicerminkan oleh ukuran kapal dan penerapan teknologi.
Pada perikanan industri, kapal yang digunakan berukuran relatif besar dan menerapkan teknologi maju. Sedangkan pada perikanan rakyat, kapalnya lebih kecil dan teknologi yang diterapkan sederhana. Perbedaan ini mengakibatkan timbulnya kecemburuan sosial, karena hasil tangkapan nelayan perikanan industri lebih banyak dibanding perikanan rakyat. Disamping itu, nelayan perikanan rakyat merasa khawatir hasil tangkapannya akan semakin menurun karena sumber daya ikan yang tersedia ditangkap oleh kapal-kapal berukuran besar.





Gambar 1.
Nelayan Menangkap Ikan dengan Bom
Konflik orientasi yaitu konflik antara nelayan yang berorientasi pasar dengan nelayan yang masih terikat nilai-nilai tradisional. Nelayan yang berorientasi pasar biasanya mengabaikan aspek kelestarian untuk mendapatkan hasil tangkapan sebanyak-banyaknya. Dalam praktiknya, nelayan tersebut sering menggunakan alat tangkap yang merusak sumber daya ikan dan lingkungannya, misalnya bahan peledak dan bahan beracun. Di sisi lain, sebagian nelayan sangat peduli terhadap kelestarian sumber daya ikan, sehingga mereka menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.













Konflik agraria yaitu konflik perebutan penangkapan (fishing ground), biasanya terjadi antar nelayan yang berbeda domisilinya. Konflik seperti ini yang sekarang sedang marak, sebagai dampak euforia otonomi daerah. Sedangkan konflik primordial terjadi sebagai akibat perbedaan identitas atau sosial budaya, misalnya etnik dan daerah asal. Konflik ini agak kabur sebagai konflik tersendiri, karena seringkali sebagai selubung dari konflik lainnya yakni konflik kelas, konflik orientasi maupun konflik agraria.

Apabila dipetakan jenis konflik dan kategori nelayan seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis Konflik dan Kategori Nelayan
Jenis Nelayan
Nelayan Tradisional
Nelayan Komersial
Nelayan Tradisional
Konflik orientasi
Konflik kelas
Konflik agraria
Konflik indentitas
Nelayan Komersial
Konflik kelas
Konflik agraria
Konflik indentitas
Konflik agraria
Konflik orientasi
Sumber : Satria et.al. (2002)

Beberapa faktor yang menjadi pemicu atau akar timbulnya konflik antar nelayan yang terjadi selama ini antara lain disebabkan oleh hal – hal berikut ini :
1. Adanya kesenjangan teknologi penangkapan ikan yang digunakan antara nelayan.
Kesenjangan teknologi penangkapan ikan merupakan hal yang tidak dapat dihindari seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, utamanya dalam bidang penangkapan ikan. Penggunaan teknologi dalam bidang penangkapan ikan dimaksudkan untuk menambah efesiensi dan efektifitas alat tangkap yang bertujuan untuk memaksimalkan hasil tangkapan. Beberapa contoh perkembangan teknologi penangkapan ikan adalah semakin besarnya armada dan kekuatan mesin yang digunakan untuk menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh, penggunaan alat-alat bantu penangkapan ikan seperti fish finder untuk mendeteksi gerombolan ikan dan lampu merkuri untuk menarik dan mengumpulkan ikan, dan kemajuan sistem navigasi yang lebih bagus pada kapal perikanan. Di satu sisi kemajuan teknologi ini membawa dampak positif, namun disisi lainnya, menimbulkan kesenjangan antara nelayan karena teknologi ini umumnya hanya dapat diakses oleh nelayan pemodal besar, sebab biaya yang dibutuhkan relatif mahal. Konsekuensinya nelayan tradisional yang tidak memiliki modal yang cukup, tidak dapat mengakses kemajuan teknologi tersebut. Kesenjangan ini pada akhirnya dapat memicu timbulnya konflik antara nelayan.
2. Minimnya hasil tangkapan dan perebutan daerah penangkapan ikan (DPI)
Seiring berkembangnya teknologi penangkapan, sumber daya ikan dibeberapa tempat justru mengalami gejala over fishing. Konflik nelayan akhirnya timbul karena hasil tangkapan nelayan di suatu wilayah perairan tertentu semakin menurun sehingga memaksa mereka untuk mencari daerah penangkapan ikan (DPI) lain yang lebih produktif (menguntungkan). DPI yang produktif terkonsentrasi hanya pada wilayah perairan tertentu sehingga menyebabkan tingkat persaingan antar nelayan semakin meningkat. Persaingan yang terjadi antar nelayan menjadi tidak seimbang karena perbedaan alat dan armada penangkapan yang digunakan berbeda yang menyebabkan salah satu pihak secara finansial mengalami kerugian usaha.
3. Penafsiran yang berbeda terhadap makna UU dan Peraturan
Berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, kewenangan pengelolaan sumber daya ikan di wilayah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Kewenangan daerah meliputi tersebut eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan administratif; pengaturan tata ruang; dan penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah. Belum optimalnya pelaksanaan sosialisasi UU tersebut telah mengakibatkan kesalahan penafsiran, bahkan oleh beberapa daerah peraturan tersebut dianggap sebagai penyerahan kekuasaan kepemilikan atas wilayah perairan tersebut, sehingga nelayan/pengusaha ikan yang berasal dari daerah propinsi/kabupaten/kota lain tidak dapat memanfaatkan sumber daya ikan di perairan tersebut. Kedatangan nelayan dari daerah lain (nelayan andon) untuk menangkap ikan tidak lagi diperbolehkan sebagaimana sebelum berlakunya UU tersebut.
4. Belum optimalnya pengelolaan, pengawasan sumber daya ikan dan penegakan hukum
Konflik juga disebabkan karena belum optimalnya fungsi pengawasan pemanfaatan dan lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran – pelanggaran dalam bidang pengelolaan pemanfaatan sumber daya ikan seperti pelanggaran jalur – jalur penangkapan ikan, masih maraknya penggunaan alat tangkap yang dilarang (bom, potasium, sianida), pemasangan dan pemanfaatan rumpon yang tidak semestinya.
5. Perbedaan kultur dan Budaya di beberapa wilayah perairan Indonesia
Penyebab lain munculnya konflik nelayan adalah perbedaan kultur. Namun demikian, konflik yang diakibatkan oleh perbedaan kultur biasanya hanya sebagai katalisator timbulnya konflik. Penyebab terjadinya konflik di suatu wilayah perairan biasanya disebabkan oleh kombinasi antara perbedaan kultur dan asal daerah dengan perebutan wilayah penangkapan ikan, atau kombinasi yang lainnya. Di samping itu, konflik antar nelayan juga dapat disebabkan oleh adanya tuntutan dari masyarakat tentang hak ulayat dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya ikan, sedangkan tuntutan tersebut belum tentu sesuai dengan aturan formal yang berlaku di masyarakat setempat.

Tabel 2. Contoh Konflik Antar Nelayan
No.
Uraian
Tahun
Penyebab
Keterangan
1.
Konflik nelayan antara nelayan purse seine Jawa Tengah dengan nelayan Kotabaru Kalimantan Selatan terjadi di perairan Selat Makassar
2004
Perebutan fishing ground
Pemerintah melalui kesepakatan bersama antar 7 Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi (Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan) menyepakati pengendalian pemanfaatan sumber daya Ikan untuk penyelesaian konflik tersebut.
2.
Nelayan Jawa Tengah dengan nelayan Kota Baru
Mei 2005
Dipicu oleh penjualan hasil tangkapan nelayan Jawa Tengah di pasar tradisional Kotabaru yang menyebabkan terjadinya ketidakstabilan harga udang dipasaran lokal
Penyelesaian konflik tersebut diupayakan melalui kesepakatan antar nelayan yang difasilitasi oleh masing-masing Dinas Perikanan dan Kelautan (Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jateng dan Kalsel) serta dihadiri oleh wakil dari Ditjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber daya Kelautan, DKP
3.
· Nelayan Bantan dengan nelayan kapal pukat harimau
April 2005
Alat tangkap pukat harimau
Sembilan kapal nelayan pukat harimau dibakar. Kerugian mencapai Rp. 3 miliar
· Perairan Bantan, Bengkalis, Riau
Mei 2005
Sembilan kapal nelayan pukat harimau dibakar
4.
Perairan Selatan Daya, Kabupaten Maluku Tenggara Barat
Mei 2005
Perebutan daerah penangkapan ikan
Nelayan dan warga di sekitar Perairan Selatan Daya, Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan kapal pencuri ikan dari Alor, NTT
5.
Nelayan Jawa Tengah dengan nelayan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan menyebabkan terbakarnya 2 (dua) unit kapal purse seine Jawa Tengah, juga menyebabkan 1 (satu) orang ABK purse seine meninggal dunia
Bulan Januari 2006
Kekuatan lampu purse seine dan alat tangkap lainnya
· DKP berinisiasi melakukan pertemuan khusus dan membahas solusi menyeluruh bagi terciptanya kondisi nyaman dan aman bagi semua nelayan yang memanfaatkan sumber daya ikan di perairan Indonesia, khususnya perairan Selat Makassar serta merumuskan langkah-langkah yang tepat untuk menyelesaikan konflik tersebut.
· Telah dilakukan pengkajian besaran kekuatan lampu sebagai alat bantu penangkapan ikan yang kemudian akan menetapkan aturan penggunaan lampu untuk Kapal Purse Seine dan alat tangkap lainnya yang menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan yang dituangkan dalam bentuk SK Menteri Kelautan dan Perikanan.

Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan
Harian Kompas





Gambar 2. Peta Sebaran Konflik Nelayan Indonesia

































3. STRATEGI PENANGANAN KONFLIK NELAYAN
Dalam menangani konflik nelayan yang terjadi di Indonesia, diperlukan strategi dalam penanganannya. Strategi penanganan konflik nelayan merupakan suatu hal yang integral yang terdiri dari tahapan penanganan konflik dan penyelesaiannya melalui pendekatan baik informal maupun formal (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006). Dalam proses penanganan konflik nelayan ini, peran dan fungsi kelembagaan di masing-masing tahapan memegang peranan penting.

Strategi penanganan konflik nelayan ini secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut :
Secara umum tahapan yang dapat dipergunakan untuk proses penanganan konflik terdiri dari pemetaan konflik, analisis penyebab konflik dan tindakan penyelesaian.

3.1. Pemetaan Konflik
Pemetaan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya. Pemetaan konflik dilakukan oleh tim penanggung jawab penanganan konflik baik di level pemerintah daerah, regional atau pusat dengan melibatkan beberapa stakeholders atau pihak-pihak yang terlibat dalam konflik yang sedang terjadi.

Pemetaan konflik ini bertujuan : a) untuk lebih memahami situasi dengan baik, b) untuk melihat hubungan di antara berbagai pihak secara lebih jelas, c) untuk menjelaskan di mana letak kekuasaan, d) untuk memeriksa keseimbangan masing­-masing kegiatan atau reaksi, e) untuk melihat para sekutu atau sekutu yang potensial berada di mana, f) untuk mengidentifikasi mulainya intervensi atau tindakan, dan g) untuk mengevaluasi apa yang telah dilakukan.

Pemetaan konflik sebaiknya dilaksanakan sebelum konflik berkembang menjadi suatu bentuk kekerasan dan bersifat anarkis. Pemetaan konflik ini juga merupakan langkah awal (Entry point) dalam upaya menganalisis konflik untuk lebih memahami penyebab dan upaya – upaya penanganan konflik lebih lanjut.

Tahap awal yang perlu dilakukan dalam pemetaan konflik ini adalah mengidentifikasi lokasi terjadinya konflik, siapa yang terlibat, bentuk keterlibatannya, motivasi dan waktu keterlibatan. Beberapa bentuk pemetaan konflik yang biasa digunakan adalah :
1). memetakan lokasi geografis yang menunjukkan tempat dan pihak–pihak yang terlibat;
2). memetakan berbagai isu sebagai penyebab timbulnya konflik;
3). memetakan penjejangan penanganan konflik; dan
4). memetakan berbagai kebutuhan.

3.2.Analisis Penyebab Konflik
Analisis penyebab konflik merupakan tahap lanjutan setelah pemetaan konflik selesai dilakukan. Dalam tahapan ini tim penanggung jawab penanganan konflik baik di level pemerintah daerah, regional atau pusat dan stakeholders awal yang terlibat dalam penanganan konflik yang telah teridentifikasi akan memutuskan pihak–pihak yang akan dilibatkan secara lebih jauh, yang selanjutnya membentuk sebuah group stakeholder. Group stakeholder yang telah terbentuk selanjutnya akan melakukan analisis skala dan batasan dari konflik secara lebih spesifik, menentukan isu–isu penyebab konflik yang sebenarnya, menganalisa kepentingan dan kebutuhan para stakeholder, mengidentifikasi posisi masing – masing pihak dan kekuatannya, mengidentifikasi insentif dan kerugian dalam penyelesaian konflik yang sedang terjadi.

Tahapan-tahapan analisis tersebut dapat dilakukan sesuai prosedur berikut ini :
1). Analisa Konflik oleh masing–masing individu dalam group stakeholder; setiap individu dalam group stakeholder akan melakukan analisisnya masing–masing terhadap konflik. Umumnya detail analisis dan kerangka waktu akan sangat tergantung pada intensitas, skala dan tahapan dari konflik yang telah terjadi. Analisis disini mungkin juga akan mengidentifikasi stakeholder kunci lainnya atau grup stakeholder lainnya untuk dilibatkan dalam mengidentifikasi isu–isu utama.
2). Penilaian dari pilihan–pilihan penanganan konflik; group stakeholder akan membuat alternatif–alternatif pilihan untuk pengelolaan dan penanganan konflik lebih lanjut, termasuk cara–cara penyelesaiannya. Komponen yang dianalisis meliputi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dari berbagai alternatif pilihan tersebut. Yang selanjutnya akan ditentukan urutan prioritas pengelolaan konflik dan memilih yang terbaik.

3.3.Tindakan Penyelesaian
Tahapan ini merupakan lanjutan dari tahapan sebelumnya dimana pilihan-pilihan penanganan konflik terbaik yang telah disepakati akan digunakan dalam proses penanganan konflik nelayan yang akan diambil. Tahapan-tahapan lanjutan dalam penyelesaian konflik secara umum di uraikan berikut ini :
1). Penyusunan kesepakatan dan strategi penanganan konflik; Kesepakatan dan strategi penanganan konflik mengacu pada prioritas-prioritas pilihan penanganan konflik yang telah ditentukan sebelumnya dimana semua pihak yang terlibat dalam konflik seharusnya terlibat pula dalam proses ini. Kesepakatan alternatif penanganan konflik terbaik dan strategi yang akan menjadi pedoman untuk aksi – aksi selanjutnya yang akan diambil sebaiknya disetujui dan di dukung semua pihak. Dalam tahapan ini seandainya kesepakatan belum diperoleh, keterlibatan pihak ketiga sangat dimungkinkan.
2). Negosiasi kesepakatan-kesepakatan; masing – masing pihak dapat menegosiasikan kesepakatan berdasarkan kebutuhan – kebutuhan dan kepentingan individu dan kepentingan bersama. Mereka akan mencari kesepakatan – kesepakatan yang saling menguntungkan. Sekali kesepakatan dilaksanakan secara sukses, hal ini menggambarkan tercapainya konsensus tahap awal yang dapat dilanjutkan pada jenjang berikutnya.
3). Implementasi dari kesepakatan; setiap stakeholder bertanggung jawab mengimplementasikan dan memonitor kesepakatan – kesepakatan yang telah dibuat secara terus menerus dan menginformasikan kepada semua pihak seandainya mereka perlu untuk melanjutkan atau memodifikasi strategi atau keputusan tersebut.
4). Evaluasi pembelajaran dan antisipasi konflik; setiap stakeholder akan mengevaluasi hasil–hasil dan dampak dari konflik dan proses pengelolaannya. Evaluasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan pembelajaran dan identifikasi oleh setiap stakeholder terhadap perubahan – perubahan yang diperlukan dan mendukung perbaikannya. Dengan melakukan evaluasi ini para stakeholder dapat menentukan bagaimana memperbaiki metode dan sistem untuk mengantisipasi konflik dan juga memotivasi stakeholder dalam keterlibatan lebih lanjut. Pada saat kesepakatan yang telah dibuat mengalami kesulitan bahkan kebuntuan dalam mengimplementasikannya para stakeholder perlu meninjau kembali kesepakatan yang telah dibuat, menemukan informasi – informasi yang hilang, mengidentifikasi stakeholder tambahan atau mengidentifikasi solusi–solusi lainnya dalam mendukung pengelolaan bersama (co-management). Sebuah proses pengelolaan konflik oleh karena itu dapat dikatakan sebagai siklus yang prosesnya berjalan terus menerus dalam sebuah prose yang selalu beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan – kebutuhan dan tantangan baru.

Untuk melaksanakan tahapan-tahapan yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa prasyarat atau elemen kunci yang sebaiknya dipenuhi guna mendukung keberhasilannya yaitu :
1). Kebutuhan akan data dan informasi; informasi yang akurat mempunyai peranan penting dalam membantu stakeholders untuk memahami sebuah konflik, yang meliputi berbagai kepentingan stakeholder, mengklarifikasi tujuan bersama dan menilai solusi – solusi yang dimungkinkan.
2). Kapasitas; menyusun solusi dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan, tidak hanya berdasarkan kepentingan stakeholders tapi berdasarkan kapasitas yang mereka miliki. Oleh karenanya, pihak yang berkonflik berkepentingan untuk meningkatkan kemampuannya dalam menyusun solusi yang mereka inginkan. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kemampuan kelembagaan.
3). Keputusan dibuat berdasarkan kesepakatan; Agar keputusan yang dibuat dapat diaplikasikan dilapangan, semestinya semua pihak yang terlibat menyepakati keputusan yang dihasilkan. Keputusan ini dibuat agar semua pihak tidak merasa dirugikan satu sama lain (win-win solution)
4). Memastikan bahwa setiap orang mengetahui kesepakatan yang telah dibuat melalui sosialisasi.

Beberapa alternatif upaya yang dapat dilakukan dalam rangka penyelesaian konflik nelayan yang terjadi adalah sebagai berikut:
1). Melakukan inisiasi dan fasilitasi demi terciptanya kondisi nyaman dan aman bagi semua nelayan yang memanfaatkan sumber daya ikan di seluruh perairan Indonesia serta merumuskan langkah-langkah yang tepat untuk menyelesaikan konflik nelayan yang terjadi;
2). Pemerintah melakukan pengendalian ijin kapal perikanan di perairan yang sudah menunjukkan gejala tangkap lebih dan daerah potensial munculnya konflik antar nelayan;
3). Memfasilitasi kemitraan usaha antar nelayan satu daerah dengan daerah lainnya;
4). Pemerintah pusat dan daerah bekerjasama melakukan pengkajian yang mendukung penyusunan peraturan yang mendukung penyelesasian konflik;
5). Pemerintah pusat dan daerah bersama-sama pihak terkait untuk melakukan sosialisasi peraturan-peraturan dibidang perikanan;
6). meningkatkan kegiatan pengawasan, pengendalian serta penegakan hukum.

4. PENDEKATAN PENANGANAN KONFLIK NELAYAN
Tindakan penyelesaian penanganan konflik nelayan pada prinsipnya dapat dilakukan secara informal melalui hukum adat/hak ulayat yang berlaku dimasyarakat setempat, melalui penyelesaian oleh pihak ketiga (arbitrase), secara formal yakni melalui hukum dan peraturan perundangan yang berlaku dan dijadikan landasan untuk pengambilan keputusan atau kombinasi antar keduanya (Satria, 2002).

4.1.Pendekatan Informal dalam Pencegahan dan Penanganan Konflik Nelayan
Masyarakat nelayan sudah mengenal sejak lama tentang pengelolaan sumber daya ikan yang berdasarkan pada sistem tradisional (aturan adat). Ciri khas dari sistem pengelolaan tradisional ini bersifat sangat spesifik lokal pada masing-masing daerah. Sistem pengelolaan perikanan laut yang berdasarkan pada tradisi lokal ini masih banyak yang dipertahankan dan dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat yang ada di wilayah pantai, sebagai contoh awig – awig di Lombok, Panglima Laot di Aceh dan Sasi di Maluku. Penanganan konflik nelayan yang terjadi di wilayah perikanan yang telah memiliki tradisi atau kearifan lokal (aturan adat) yang telah diakui oleh pemerintah setempat dan tidak bertentangan dengan hukum diatasnya yang berlaku, dapat diselesaikan melalui pendekatan informal ini.

Sebagai ilustrasi, penerapan Sasi yang telah diterapkan sejak lama di Maluku (sekitar abad ke – 17) mengandung tiga tujuan utama dari kelembagaannya yakni :
1). Menjamin kesempatan yang sama kepada komunitas lokal dalam melakukan kegiatan perikanan di wilayah pesisir.
2). Menjamin efektifitas pengelolaan sumber daya perikanan di wilayah perairan pesisir secara berkelanjutan.
3). Menjamin kesempatan kepada anggota komunitas untuk melestarikan nilai – nilai subsisten maupun ekonomi dari wilayah perairan mereka.

Secara harfiah, Sasi berarti larangan. Hal ini berarti ada hak pengelolaan tertentu terhadap suatu wilayah perairan oleh suatu komunitas di sekitar wilayah perairan. Paling tidak ada tiga hal yang terkandung dalam kelembagaan Sasi, yakni :
1). Penentuan waktu beroperasi
2). Peraturan penangkapan berdasarkan spesies
3). Pengaturan berdasarkan alat tangkap dan sanksi.

Untuk mengefektifkan pelaksanaan penanganan konflik nelayan secara informal ini, dapat mempertimbangkan beberapa langkah berikut ini :
1). Dalam manajemen konflik pemanfaatan sumber daya ikan, perlu dipercepat adanya pengakuan dan penghargaan terhadap hak–hak, pengetahuan, struktur kelembagaan, tanggung jawab dan nilai–nilai yang dimiliki oleh masyarakat nelayan lokal.
2). Hendaknya segera dilakukan upaya membangun dan menerapkan mekanisme serta prosedur yang jelas dan transparan dalam penyelesaian konflik pemanfaatan sumber daya ikan. Proses–proses yang ditempuh seyogyanya didukung dan dibangun dari mekanisme lokal yang telah berjalan.
3). Perlunya mengadopsi proses–proses partisipatif dalam pengembangan, penerapan, dan penilaian kebijakan – kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, dengan memasukkan kepentingan masyarakat lokal, dan kelompok marjinal yang selalu terabaikan.
4). Tersedianya rancangan sistem penyebaran informasi yang jelas, mudah diakses, serta dalam bentuk yang sesuai dengan budaya lokal
5). Dikembangkannya pengelolaan sumber daya ikan sesuai dengan kebutuhan dan manfaat yang diperlukan oleh berbagai pengguna yang berbeda, dengan memprioritaskan pada masyarakat nelayan dan orang–orang yang langsung bergantung pada keberadaan sumber daya ikan.



4.2.Pendekatan Formal dalam Pencegahan dan Penanganan Konflik Nelayan
Pengelolaan Sumber daya Perikanan Laut Indonesia tidak hanya terjadi begitu saja tanpa ada pengaturan yang jelas. Dengan kata lain, setiap kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya perikanan selalu berlandaskan pada peraturan, hukum dan perundang-undanganan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Beberapa landasan hukum yang dapat dipergunakan dalam penanganan konflik nelayan secara formal antara lain sebagai berikut:
1). Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3.
2). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
3). UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
4). UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
5). Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
6). Keputusan Presiden RI No. 39 tahun 1980 tentang Pelarangan Pengoperasian Trawl
7). Keputusan Menteri Pertanian No. 392 tahun 1999 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan.
8). Keputusan Menteri Pertanian No. 995 tahun 1999 tentang Penentuan Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan.
9). Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 13 tahun 2004 tentang Pedoman Pengendalian Nelayan Andon.
10). Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 53 tahun 2004 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon
11). Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17 tahun 2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap.

4.3.Kelembagaan
Kelembagaan merupakan koridor pembuka dalam penanganan konflik nelayan, yang perlu mendapat perhatian serius. Terkait dengan hal ini, kegiatan identifikasi kelembagaan yang berperan dalam penanganan perlu dilakukan lebih awal. Kegiatan mengelola sumber daya ikan, diakui tidak mudah untuk menentukan lembaga mana yang seharusnya terlibat dan bagaimana susunan kelembagaannya (Institutional arrangement).

Penyelesaian penanganan konflik nelayan yang terjadi di Indonesia dilakukan secara berjenjang, yaitu :
1). Konflik yang terjadi di tingkat kecamatan dapat dikoordinasikan penanganannya di tingkat Kabupaten tersebut,
2). konflik nelayan yang terjadi antara kabupaten dapat dikoordinasikan penanganannya di tingkat propinsi yang terkait, dan
3). konflik yang melibatkan nelayan antar propinsi dapat dikoordinasikan penanganannya oleh propinsi-propinsi terkait yang difasilitasi oleh Pemerintah Pusat.

4.3.1. Bentuk Kelembagaan
Penanganan konflik nelayan dalam memanfaatkan sumber daya ikan yang efektif mengharuskan tanggung jawab manajerial dipegang oleh suatu lembaga formal atau informal, dengan disertai dukungan yang memadai dari pemerintah. Bentuk kelembagaan dalam penanganan konflik nelayan merupakan kewenangan dari pemerintah daerah yang bersangkutan sesuai dengan peraturan daerah yang berlaku yang umumnya juga telah menentukan peran dan fungsi dari kelembagaan tersebut.

Hal yang terpenting yang perlu ditekankan disini adalah bagaimana bentuk kelembagaan yang mungkin berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lainnya dapat bekerjasama dan membangun mekanisme yang dapat disepakati dalam upaya penanganan konflik nelayan.

4.3.2. Peran dan Fungsi Kelembagaan
Peran dan fungsi kelembagaan diatur melalui Peraturan daerah yang terkait. Secara umum peran dan fungsi kelembagaan yang selama ini memiliki andil dalam menangani konflik nelayan dapat dijelaskan berikut ini :
1). Level Pusat
Penanggung jawab penanganan konflik nelayan ditingkat pusat adalah Departemen Kelautan dan Perikanan yang dalam melaksanakan tugasnya berkoordinasi dengan unit atau instansi kerja terkait.
Kelembagaan pengelolaan konflik yang berada ditingkat pusat berperan dalam memediasi dan menyelesaikan konflik nelayan yang terjadi antara propinsi atau regional.
2). Level Propinsi
Penanggung jawab penanganan konflik nelayan ditingkat propinsi adalah Gubernur.
Kelembagaan pengelolaan konflik yang berada ditingkat propinsi memiliki peranan dalam memediasi dan menyelesaikan konflik nelayan yang terjadi antara kabupaten.
3). Level Kabupaten/kota
Penanggung jawab penanganan konflik nelayan ditingkat kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota.
Kelembagaan pengelolaan konflik yang berada ditingkat kabupaten / kota memiliki peranan dalam memediasi dan menyelesaikan konflik nelayan yang terjadi antara kecamatan.


4.4. Penegakan Hukum
Dalam penanganan konflik yang terjadi, maka berbagai pihak harus memiliki komitmen yang tinggi dan konsisten dalam menegakan peraturan hukum yang berlaku. Penegakan aturan hukum yang melarang penggunaan teknologi penangkapan yang merusak lingkungan harus diterapkan, karena dapat menyebabkan kecemburuan sosial dan meningkatkan kesenjangan pendapatan diantara kelompok nelayan. Tanpa penegakan hukum yang tegas, khususnya oleh aparatur negara, sangat sulit dihindari terjadinya persoalan sosial – ekonomi dan kekerasan massal dari kelompok masyarakat yang dirugikan oleh praktik-praktik pelanggaran hukum tersebut. Penegakan hukum harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat, bilamana terjadi pelanggaran peraturan harus ditindak tegas, tentunya aturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan ini harus jelas terlebih dulu, agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda. Atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya, masyarakat nelayan juga harus mengambil inisiatif untuk penegakan hukum agar hukum yang berlaku benar-benar berdaya melindungi kepentingan kolektif nelayan.

5. Kesimpulan
1. Konflik nelayan yang terjadi di wilayah perairan Indonesia telah banyak menelan korban tidak hanya harta benda tetapi juga korban manusia. Umumnya konflik yang terjadi merupakan dampak dari semakin meningkatnya persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan. Beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya konflik tersebut antara lain adalah perebutan daerah penangkapan ikan (fishing ground), adanya kecemburuan sosial akibat perbedaan dan kesenjangan teknologi penangkapan antara satu daerah dengan daerah lainnya, adanya kesenjangan sosial dan perbedaan budaya, dan dalam beberapa kasus konflik dapat disebabkan karena salah penafsiran penerapan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah antara lain dalam bentuk pengkavlingan laut.
2. Namun demikian, setiap konflik nelayan yang terjadi mempunyai kekhasan tersendiri dan melibatkan banyak pihak yang memiliki kepentingan dan motivasi yang berbeda-beda pula. Kenyataan di lapangan menunjukkan tidak semua konflik yang terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan dan kesenjangan teknologi penangkapan dan atau perebutan daerah penangkapan ikan yang potensial, namun ternyata konflik nelayan juga dapat diakibatkan oleh faktor-faktor non teknis lainnya. Di samping itu, konflik nelayan yang terjadi penyebabnya dapat beragam, bisa berdiri sendiri, atau dapat pula merupakan kombinasi antara beberapa faktor.
3. Dalam hal penanganan konflik nelayan yang terjadi di beberapa perairan di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan telah melakukan upaya-upaya dalam memfasilitasi penanganan dan penyelesaian konflik yang terjadi, antara lain melalui kesepakatan-kesepakatan penyelesaian konflik.
4. Langkah-langkah yang nyata dan sistematis dalam upaya penanganan dan penyelesaian konflik yang telah dilakukan kemudian dituangkan dalam suatu pedoman umum penanganan konflik nelayan yang berisikan strategi penanganan yang terdiri dari tahapan, pendekatan dan kelembagaan dalam penanganan dan penyelesaian konflik nelayan, yang disusun melalui kerangka pemikiran pengelolaan perikanan bersama (komanajemen perikanan).


DAFTAR PUSTAKA

1. Ichwan Susanto, 2005, Terus Ada Konflik Antarnelayan, Harian Kompas, Jakarta.
Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006. Draft Pedoman Umum Penanganan Konflik Nelayan di Indonesia, Ditjen. Perikanan Tangkap, Jakarta.
2. Kusnadi, 2006. Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Ikan, Lkis Jogjakarta.
3. Numberi, Freddy, 2008. Permasalahan Kelautan dan Perikanan dalam Pembangunan Daerah. disampaikan pada Forum Konsolidasi Pimpinan Pemerintahan Daerah Bupati, Walikota dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota, Lemhannas, 17 Maret 2008 di Jakarta.
4. Satria, Arif, 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir, Jakarta: Cidesindo.
5. Sotrio, Ferry Agusta, 2002, Makalah Konflik Pemanfaatan Sumber daya Perikanan Laut: Contoh Kasus Nelayan di Perairan Utara Jawa Timur, Universitas Gajah Mada, Jogjakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar